Jumat, 21 November 2008

Tradisi Ritual Komunal

TRADISI RITUAL UPACARA KOMUNAL INDIVIDUAL

Oleh : Muhammad Erwin Saputro , A. Ma

I. PENDAHULUAN

Ritual merupakan ekspresi dari pengalaman keagamaan merupakan konsekwensi eksestensial dan substansial dari perilaku agama , khususnya ketika agama dalam pengertian sebagai pengalaman spiritual dari keberjumpaan manusia – tuhan dalam sebuah pengalaman keberagaman . Dengan demikian secara substansial , agama dan beragama bersifat individual. Namun demikian , hasrat manusia untuk berada pada jalan yang benar dan kecenderungannya untuk mengikatkan dirinya dengan sumber asalnya tidak selalu hadir sebagai pengalaman yang dialami sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi , maka mereka cenderung untuk melakukan peniruan dan pengulangan terhadap perilaku keagamaan (ritual) atau aktifitas beragama orang – orang yang dianggapnya telah mengalami pengalaman suci tersebut [1]

II. RUMUSAN MASALAH

  1. Pengertian Tradisi
  2. Tradisi Komunal
  3. Tradisi Lingkaran Hidup

III. PEMBAHASAN

  1. Pengertian Tradisi

Yang dimaksud dengan tradisi adalah suatu kebiasaan yang ada di masyarakat yang dilakukan dari generasi ke generasi seterusnya secara terus menerus dan bertahap dari tahun ke tahun . Ada yang menyebutkan bahwa tradisi sama dengan kebudayaan , tapi definisi dari kebudayaan itu sendiri adalah penjelmaan (manifestasi) akal dan rasa manusia , hal mana berarti pula bahwa manusialah yang menciptakan kebudayaan atau tradisi itu sendiri . Atau dengan kata lain bahwa kebudayaan bersumber kepada manusia . Dengan demikian jelaslah bahwa tradisi atau kebudayaan islam adalah penjelmaan akal dan rasa manusia muslim itu sendiri .

B. Tradisi Komunal

Ketika disadari bahwa hubungan eternal antara realitas mutlak atau Tuhan dengan alam semesta dan manusia (Makhluk) secara substansial terjadi pada “saat” proses pencipataan , maka perilaku ritual , secara umum diambil dari event penciptaan tersebut , atau even theophani yaitu peristiwa – peristiwa (yang dianggap) suci , tatkala realitas mutlak menempatkan “diri” hadir dihadapan atau dalam diri manusia –manusia “suci” . Ketika itulah perenungan atau pendakian spiritual sebagai dimensi dan persoalan individual menjadi berdimensi sosial . Hal inipun terjadi ketika ada kesadaran bahwa ternalitas diri hanya dicapai bersamaan dengan eternalitas “Cosmos” . karena eternalitas ilahi dipersepsi mewujudkan dalam eternalitas alam , dan eternalitas alam akan tercapai dan terjadi bila keteraturan dan kelestarian alam dipertahankan . Ketika itulah spiritualitas individual beralih menjadi spiritualitas komunal.[2]

Slametan adalah kegiatan – kegiatan komunal jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual , baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedhak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga.

Slametan berasal dari kata slamet (Arab : salamah) yang berarti selamat , bahagia , sentausa . selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden – insiden yang tak dikehendaki. Sementara itu Clifford Geertz slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapapun).

Dengan demikian slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum . Disamping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga tampak ketika mereka mulai membangun rumah , pindahan , ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih berumur 4 bulan dalam kandungan) , puputan (lepas pusar), dan masih banyak lainnya.

Dalam skala yang lebih besar dapat kita jumpai praktik – praktik seperti bersih – bersih desa , resik kubur dan lainnya .Menurut Pamberton, Jawa (hal.327 – 336) praktek yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh , terutama dengan roh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata lain bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan roh setempat..

Dapat dipahami bahwa slametan sering kali merupakan tradisi komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar . Hanya saja slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian jajan pasar. Hal yang menarik warga desa mendatangi slametan bukanlah kemungkinan untuk makan bersama sebagai wujud kebersamaan , tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat)[3]

C. Tradisi Lingkaran Hidup

Bagi orang Jawa , hidup ini penuh dengan upacara , Baik upacara – upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak keberadaan nya dari perut ibu, lahir , kanak–kanak , remaja , dewasa sampai dengan saat kematiannya atau juga upacara – upacara yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari – hari dalam mencari nafkah.

Upacara–upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia .Dalam kepercayaan lama , upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya – daya kekuatan gaib (roh-roh , makhluk – makhluk halus , dewa – dewa) tertentu . tentu dengan upacara itu harapan pelaku upacara adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.

Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara – upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan. Dalam upacara ini yang pokok adalah pembacaan doa (donga) yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam , apakah seorang Modin , kaum , Lebe , atau Kiai . Selain itu , terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan bagi peserta slametan yang disebut sebagai berkat. Makanan – makanan itu disediakan oleh Shohibul hajat . Dalam bentuknya yang khas , makanan inti adalah nasi tumpeng , ingkung ayam dan ditambah ubarampe yang lain.

Dengan pola inti serupa itulah nilai – nilai Islam telah merasuki pelaksanaan upacara slametan dan berbagai bentuknya . Geertz , demikian juga Koentjaraningrat telah mengemukakan berbagai upacara yang dilakukan oleh orang Jawa (Geertz , 1981 : 13-18 , Koentjaraningrat , 1984 : 343 – 366)

Berkaitan dengan Lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara , antara lain :

1. Upacara tingkeban atau mitoni . Dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut Ibu . Mitoni berasal dari kata pitu (tujuh).Dalam acara tersebut , disiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika perempuan. Dalam acara mitoni, ibu tertua muali memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan air kembang (bunga) setaman (air yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga, dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, dimana yang mengandung (mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai dilanjutkan dengan berdo’a dan makan nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagai upaya untuk memohon kepada Tuhan agar anak yang dikandung nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero (mengangkat derajat) orangtua dan keluarga. Dalam tradisi santri , pada upacara tingkeban ini seperti yang dilakukan didaerah Bagelen dibacakan berjanjen dengan alat musik tamburin kecil . berjanjen ini sesungguhnya merupakan riwayat Nabi Muhammad yang bersumber dari kitab Berzanji.

2. Upacara Kelahiran , Dilakukan pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut (bercukur) , pada waktu bayi berumur 7 hari atau sepasar . Upacara ini disebut juga Nyepasari . dalam upacara islam santri upacara ini disebut dengan Aqiqah yang diucapkan dalam lidah Jawa Kekah , ditandai dengan penyembelihan hewan aqiqah berupa 2 ekor kambing bagi anak laki – laki dan 1 ekor kambing bagi anak perempuan.

Bahwa tujuan aqiqah menurut agama islam adalah membersihkan noda dan kotoran yang ada di kepala bayi “Rasulullah menyembelih hewan aqiqah untuk hasan dan husain dihari ketujuh, memberi nama keduanya dan beliau memerintahkan agar kepala nya dibersihkan dari kotor”.

3. Upacara sunatan , dilakukan pada saat anak laki – laki dikhitan , pada berbagai masyarakat pelaksanaannya berbeda-beda . Ada yang melaksanakannya antara usia 4-8 tahun , dan pada masyarakat yang lain dilaksanakan tatkala anak berusia antara 12-14 tahun. Pelaksanaan khitan ini merupakan wujud nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Sunatan atau khitanan merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang islam. Mengandung makna mengislamkan (ngislamaken)

Ibnul Qoyyim menerangkan “khitan mengandung unsur kesehatan, kebersihan, kerapian, dan mempercantik kondisi fisik serta menormalkan syahwat. Jika dilepas manusia bagaikan hewan, namun sebaliknya bila dikebiri maka manusia layaknya benda mati. Dan khitan menyeimbangkan nya. Oleh karena itu, engkau dapati lelaki atau wanita yang tidak berkhitan, tidak pernah merasa kenyang dengan jima’ (bersetubuh)”.[4]

4. Upacara Perkawinan , dilakukan pada saat pasangan muda – mudi akan memasuki jenjang berumah tangga . ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari’at islam yakni aqad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Nikah adalah salah satu asas pokok dalam hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lain. Serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat yang menyampaikan kepada kepada bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya.[5]

Faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu daripada kebinasaan. Sebab seorang perempuan apabila ia sudah kawin, maka nafkahnya (belanjanya) jadi wajib atas tanggungan suaminya.[6]

5. Upacara kematian , pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan , mengkafani , mensholati , dan pada akhirnya menguburkan . Setelah penguburan itu selesai selama sepekan diadakan slametan mitung dina ,(tujuh hari), slametan matang puluh (40 hari), Slametan Nyatus (100 hari), satu tahun (mendhak sepisan) , dua tahun (Mendhak pindho) , dan tiga tahun (Nyewu). Tahlilan kirim do’a kepada leluhur terkadang dilakukan juga oleh keluarga secara bersama-sama pada saat ziarah kubur , khususnya pada saat menjelang bulan ramadlan . Upacara ziarah kubur ini disebut nyadran.

Bentuk upacara lain , selain berkaitan dengan lingkaran hidup , terdapat pula upacara yang berkenaan dengan kekeramatan bulan – bulan hijriyah seperti upacara bakda besar,, Suran, Mbubar suran, Saparan, Dina wekasan, Muludan, Jumadil awalan, Jumadil akhiran , Rejeban (Mikhradan), Ngruwah (Megengan) , Maleman, Riyayan , Sawalan (kupatan), Sela dan sedekahan Haji[7]

IV. KESIMPULAN

Tradisi adalah suatu kebiasaan yang ada di masyarakat yang dilakukan dari generasi ke generasi seterusnya secara terus menerus dan bertahap dari tahun ke tahun . Ada yang menyebutkan bahwa tradisi sama dengan kebudayaan , tapi definisi dari kebudayaan itu sendiri adalah penjelamaan (manifestasi ) akal dan rasa manusia , hal mana berarti pula bahwa manusialah yang menciptakan kebudayaan atau tradisi itu sendiri .

Tradisi slametan berakar dari budaya asli Jawa (animisme dan dinamisme) dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya Hindu Budha. Masuknya Islam di Jawa menggunakan pola “damai” dengan persuasi sehingga masih terdapat simbol-simbol budaya masa lalu (animisme-dinamisme, Hindu-Budha yang masih menjadi “pola” pikir dan paradigma masyarakat Jawa).

Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno, kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek-moyang yang pada saat Islam datang ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri manusia.

Tradisi berkaitan dengan Lingkaran hidup bagi Orang Jawa antara lain :

  1. Upacara tingkeban atau Mitoni
  2. Upacara Kelahiran
  3. Upacara Sunatan
  4. Upacara Perkawinan
  5. Upacara Kematian

V. PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan . Tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan . untuk itu , kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah wawasan dan hazanah ilmu pengetahuan kita , Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Amin , Darori , HM. Drs., Islam & Kebudayaan Jawa , Yogyakarta : Gama Media , 2002

Eliade , Micrea , Sakral dan Profan , ( Pent.Nurwanto ) , Yogyakarta: Fajar pustaka,2002

Rasjid, Sulaiman,H, Fiqih Islam (Cetakan Tujuh Belas),Jakarta: Attahiriyah,1976

Schuon , Fritjhof ( Muhammad Isa Nurudin ) , Islam Filsafat Perenial ( Judul asli : Islam and the perennial Philoshophy ), Bandung : Mizan , 1993

http:// www. 6-proses – akulturasi- islam–dengan–budaya–jawa–pdf. Dikutip pada hari Selasa, 22 April 2008 pukul 13.35 WIB.

http://www.cafe-muslimah.com Dikutip pada hari Kamis, 22 Mei 2008 pukul 14.20 WIB.



[1] Micrea Eliade , Sakral dan Profan , ( Pent.Nurwanto ) , Yogyakarta: Fajar pustaka,2002,hal.131

[2] Fritjhof Schuon ( Muhammad Isa Nurudin ) , Islam Filsafat Perenial ( Judul asli : Islam and the perennial Philoshophy ), Bandung : Mizan , 1993

[3] http : // www. 6- proses – akulturasi – islam – dengan – budaya – jawa – pdf.

[4] http://www.cafe-muslimah.com

[5] H. Sulaiman Rasjid,Fiqih Islam (Cetakan Tujuh Belas),Jakarta: Attahiriyah,1976,hlm.355

[6] Ibid, hlm. 356

6Drs. H.M. Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa , Yogyakarta : Gama Media , 2000, Hal.130-134

2 komentar:

ASP mengatakan...

terimakasih MasWiens, anda telah membuattulisan tentang tradisi ritual komunal, ini sungguh bermanfaat. my blog:
http://baganbatublog.blogspot.com/

MI NU 52 Mororejo Kec. Kaliwungu Kab. Kendal mengatakan...

Terima kasih kembali, smoga dapat menambah wawasan dan bermanfaat.